Kisah Murka Anies Baswedan dan Memo yang Bocor
Riva Dessthania Suastha, CNN Indonesia
Jumat, 17/06/2016 09:21 WIB
Menteri Anies berang kala melihat guru TK tak dilayani baik di Kemdikbud. Ia mengancam lewat memo: Jika ada yang menolak berubah, tegur keras-tegas, beri aba-aba minggir dari barisan! (ANTARA/Sigid Kurniawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sabtu pekan lalu, Anies Baswedan seperti biasa menyempatkan diri menulis memo harian untuk jajarannya sembari menghabiskan waktu dalam perjalanan. Menulis memo, kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu, merupakan salah satu rutinitasnya menjaga komunikasi dengan para bawahannya.
"Saya sering nulis-nulis pesan saat dalam perjalanan. Memo ini prinsipnya untuk ingatkan mereka agar stick pada visi kami (Kemendikbud)," kata Anies di sela rapat Kemendikbud dengan Komisi X di Gedung DPR RI, Jakarta, kemarin.
Menulis memo, menurut Anies, ampuh untuk menjaga kedisiplinan jajarannya. Memo itu tak pernah ia sebar luaskan karena khusus untuk internal kementerian.
"Saya tulis memo lalu kirim ke grup WhatAapp khusus eselon I (Kemendikbud). Tapi kadang-kadang mereka (pegawai eselon I) izin untuk sebar ke eselon lainnya. Ya sudah tidak tahu sampai mana lagi memo itu," ujar Anies sembari tertawa.
Namun akibatnya, salah satu memo internal Anies itu bocor Sabtu malam dan langsung beredar viral di media sosial.
Isi memo yang bocor itu sama sekali tak menyenangkan karena berisi murka Menteri Anies. Ia berang dan kecewa dengan kinerja jajarannya yang tak maksimal melayani masyarakat, khususnya para guru.
Memo itu diawali dengan cerita Anies kala bertemu seorang guru TK asal Magelang, Ibu Mei, di kantor kementeriannya. Saat itu Ibu Mei sedang mengurus surat kepangkatan, namun tak berhasil menuntaskan urusan surat itu lantaran petugas tak ada di tempat.
Padahal, Ibu Mei harus segera kembali ke Magelang karena kadung memesan tiket pesawat pulang-pergi. Ibu Mei sudah hendak menyerah mengurusi surat kepangkatannya ketika bertemu Menteri Anies –yang langsung murka begitu mendengar cerita guru TK itu.
Anies geram, lantas mengajak Ibu Mei ke ruangannya. Tak lama setelah peristiwa itu berlalu, memo berisi kemarahan Anies pun menyebar.
"Bapak dan Ibu semua, seorang ibu guru TK yang sudah amat senior dari pinggiran Kabupaten Magelang telah habiskan uang untuk beli tiket pesawat Semarang-Jakarta pulang-pergi dan terpaksa pulang dengan tangan hampa. Alasannya sederhana: petugas tidak di tempat. Ini tidak seharusnya terjadi dan tidak boleh berulang. Saya tegaskan sekali lagi: TIDAK BOLEH BERULANG," demikian kutipan isi memo internal Anies.
Anies menyesalkan hal seperti itu masih terjadi pada lembaganya. Mestinya, kata Anies, petugas tidak meninggalkan tempat kerjanya ketika sedang berjaga agar tetap bisa melayani masyarakat.
Anies pun mengancam akan memberi sanksi tegas kepada bawahannya yang ketahuan bekerja tanpa punya niat melayani masyarakat.
"Sanksi tegas ada, tapi nanti dibicarakan internal saja. Saya enggak hobi mempermalukan orang," ujar Anies.
Berikut isi memo Anies:
Kepada
Yth Jajaran Pimpinan Kemdikbud
Assalamu'alaikum wr wb
Kemarin saya mampir ke Unit Layanan Terpadu di Gedung C. Saya tuliskan catatan kecil untuk jadi bahan refleksi dan susun langkah perubahan.
Begini ceritanya .....
"Inggih Pak, mboten napa-napa," jawab Ibu Mei. Iya tidak apa-apa, Pak. Itu jawabnya saat saya minta maaf atas nama Kemdikbud.
Saya tanya kenapa dia sampai pergi ke Jakarta. "Saya ini sudah 59 tahun, Pak. Tahun depan pensiun. Kalau tahun ini ada masalah, saya takut tidak bisa terima uang pensiun," Ibu Mei menjelaskan alasan kenapa ke Jakarta.
Itu cuma satu dari dua ratusan orang yang datang di hari Jumat kemarin. Ibu guru itu bernama Ibu Mei, seorang guru TK dari Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Dia berangkat ke Jakarta ditemani putrinya yang tinggal di Semarang dan seorang staf Dinas Pendidikan Kab. Magelang.
Sesudah Jumatan, saya berjalan melewati ULT. Tanpa sengaja, berpapasan lagi dengan mereka bertiga di selasar depan ULT.
Saya tanya apakah sudah beres, lalu putrinya menjawab, "Tadi kami diminta oleh petugas ULT untuk mengurus ke lantai 13 di Gedung D. Kami sudah ke sana lalu menunggu tapi petugasnya tidak ada."
"Sekarang mau ke mana?" tanya saya. Putrinya kemudian menjawab, "Kami mau ke bandara, terlanjur beli tiket PP sore ini." Semua diam. Saya kaget, ya amat terkejut.
Bapak dan Ibu semua, seorang ibu guru TK yang sudah amat senior dari pinggiran Kab Magelang telah habiskan uang untuk beli tiket pesawat Semarang-Jakarta PP dan terpaksa pulang dengan tangan hampa. Alasannya sederhana: petugas tidak di tempat.
Cukup sudah tempat ini jadi pangkal kekecewaan!!
Saya ajak mereka ke ruangan saya dan panggil petugas GTK untuk membereskan hingga tuntas.
Bapak dan Ibu, ini tidak seharusnya terjadi dan tidak boleh berulang. Saya tegaskan sekali lagi: TIDAK BOLEH BERULANG.
Saya akan ceritakan lagi pengalaman nyata, pengalaman kami yang pernah saya ceritakan pada Ibu dan Bapak sekalian saat kita bicara soal pelayanan pada guru beberapa bulan yang lalu.
Saat itu saya masih duduk di bangku SMA. Saya mengantar almarhum ayah ke Stasiun Tugu di Jogjakarta. Beliau berangkat naik KA Senja Utama ke Jakarta, akan mengurus soal kepangkatannya di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kami sekeluarga melepas dengan penuh harap bahwa kepangkatannya bisa beres. Beberapa hari kemudian, menjelang subuh saya menjemput di Stasiun Tugu lagi. Saat itu diceritakan bahwa urusannya tidak selesai karena pejabat yang berwenang sedang tidak di tempat dan yang lain tidak bisa memutuskan. Ya, sama persis. Pulang kampung dengan tangan hampa. Sebabnya sama: pejabat tidak ada di tempat.
Sekembalinya dari Jakarta, pagi itu juga ayah langsung mengajar lagi. Ruang kelasnya tidak boleh kosong terlalu lama.
Beberapa waktu kemudian, kami sekeluarga mengantar lagi ke Stasiun Tugu. Ayah berangkat lagi ke Jakarta untuk menuntaskan urusan kepegawaiannya, yang pada waktu itu beliau sudah lebih dari 25 tahun mengajar. Bawa kopor dan tas dokumen berisi semua berkas-berkas penunjang.
Di perjalanan pulang dari stasiun, Ibu bergumam sambil matanya berkaca-kaca, "Kasihan abah jadi korban perubahan aturan". Kami panggil ayah dengan sebutan sunda, abah. Saya tidak ingat detail aturannya, tapi kami semua diam sambil berharap kali ini beres.
Datang harinya beliau kembali ke Jogja. Saya jemput lagi di Stasiun Tugu subuh-subuh. Beliau membawa kabar, tidak bisa. Ikhtiar pengurusan pangkat itu hasilnya nihil.
Saya ingat, kami duduk mengitari meja makan mendengarkan cerita beliau saat mengurus di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bawa map berisi dokumen, mengantre di ruang tunggu, hingga akhirnya ditemui sang pejabat. Detail cerita beliau.
Kami semua jadi geram dan kesal mendengarnya. Di akhir obrolan pagi itu, beliau mengatakan kira-kira begini, biarlah negara tidak mengakui masa kerja ini tapi yang penting ada di catatan Allah.
Hingga akhirnya hayatnya, pangkat ayah tidak pernah bisa dituntaskan. Ayah mengajar lebih dari 40 tahun. Ribuan pernah jadi muridnya. Kebahagiaannya didapat bukan dari selembar kertas pengakuan negara, tapi dari lembaran surat, kartu lebaran, atau silaturahmi bekas murid-muridnya.
Setiap melihat guru datang ke Kemdikbud mengurus kepangkatan, sertifikasi, NUPTK dll, saya membayangkan mereka kelak pulang ke rumah disongsong oleh istri, suami dan anak-anak yang berharap dengar kabar baik, seperti keluarga kami dulu. Semua anggota keluarga menunggu kepulangan dengan penuh harap untuk sebuah urusan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Tugas mereka mengajar, mendidik, dan menginpsirasi. Tugas birokrasi pendidkkan adalah memudahkan mereka bekerja, bukan malah menyulitkan. Cukup sudah. Cukup kementerian ini jadi kontributor permasalahan administrasi tanpa akhir.
Bapak dan Ibu, Laporan dari BKLM tentang jumlah guru yang datang ke ULT Kemdikbud ini jangan pernah dipandang semata-mata sebagai data statistik untuk dianalisa.
Tiap angka itu adalah seorang manusia harapan keluarga. Mereka adalah pilar keluarga. Anak, istri atau suami menunggu penuh harap di kampung halaman. Mereka adalah pejuang yang telah lelah, telah berkeringat di garis depan, di depan kelas untuk mendidik anak-anak kita.
Lunasi semua haknya. Permudah semua prosesnya. Manusiawikan kembali proses pengurusannya. Tuntaskan ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Di hari Sabtu siang, renungkan catatan ini. Bayangkan tiap kita berada di posisi para pencari kepastian, para Ibu dan Bapak guru yang datang ke ULT.
Awal minggu depan, saya akan siapkan surat instruksi resminya. Instruksinya: semua unit yang terkait dengan urusan data guru dan seputar pengurusan administrasi guru untuk menyiapkan rencana perombakan total. Penyederhanaan total. Segera siapkan untuk menjalankan instruksi.
Jika Bapak dan Ibu menemui kendala, ada yang menolak untuk berubah, ada yang tidak sanggup untuk menyederhanakan proses, maka tegur dengan keras dan tegas. Beri aba-aba untuk minggir dari barisan!
"Saya sering nulis-nulis pesan saat dalam perjalanan. Memo ini prinsipnya untuk ingatkan mereka agar stick pada visi kami (Kemendikbud)," kata Anies di sela rapat Kemendikbud dengan Komisi X di Gedung DPR RI, Jakarta, kemarin.
Menulis memo, menurut Anies, ampuh untuk menjaga kedisiplinan jajarannya. Memo itu tak pernah ia sebar luaskan karena khusus untuk internal kementerian.
"Saya tulis memo lalu kirim ke grup WhatAapp khusus eselon I (Kemendikbud). Tapi kadang-kadang mereka (pegawai eselon I) izin untuk sebar ke eselon lainnya. Ya sudah tidak tahu sampai mana lagi memo itu," ujar Anies sembari tertawa.
Namun akibatnya, salah satu memo internal Anies itu bocor Sabtu malam dan langsung beredar viral di media sosial.
Isi memo yang bocor itu sama sekali tak menyenangkan karena berisi murka Menteri Anies. Ia berang dan kecewa dengan kinerja jajarannya yang tak maksimal melayani masyarakat, khususnya para guru.
Memo itu diawali dengan cerita Anies kala bertemu seorang guru TK asal Magelang, Ibu Mei, di kantor kementeriannya. Saat itu Ibu Mei sedang mengurus surat kepangkatan, namun tak berhasil menuntaskan urusan surat itu lantaran petugas tak ada di tempat.
Padahal, Ibu Mei harus segera kembali ke Magelang karena kadung memesan tiket pesawat pulang-pergi. Ibu Mei sudah hendak menyerah mengurusi surat kepangkatannya ketika bertemu Menteri Anies –yang langsung murka begitu mendengar cerita guru TK itu.
Anies geram, lantas mengajak Ibu Mei ke ruangannya. Tak lama setelah peristiwa itu berlalu, memo berisi kemarahan Anies pun menyebar.
"Bapak dan Ibu semua, seorang ibu guru TK yang sudah amat senior dari pinggiran Kabupaten Magelang telah habiskan uang untuk beli tiket pesawat Semarang-Jakarta pulang-pergi dan terpaksa pulang dengan tangan hampa. Alasannya sederhana: petugas tidak di tempat. Ini tidak seharusnya terjadi dan tidak boleh berulang. Saya tegaskan sekali lagi: TIDAK BOLEH BERULANG," demikian kutipan isi memo internal Anies.
Anies menyesalkan hal seperti itu masih terjadi pada lembaganya. Mestinya, kata Anies, petugas tidak meninggalkan tempat kerjanya ketika sedang berjaga agar tetap bisa melayani masyarakat.
Anies pun mengancam akan memberi sanksi tegas kepada bawahannya yang ketahuan bekerja tanpa punya niat melayani masyarakat.
"Sanksi tegas ada, tapi nanti dibicarakan internal saja. Saya enggak hobi mempermalukan orang," ujar Anies.
Berikut isi memo Anies:
Kepada
Yth Jajaran Pimpinan Kemdikbud
Assalamu'alaikum wr wb
Kemarin saya mampir ke Unit Layanan Terpadu di Gedung C. Saya tuliskan catatan kecil untuk jadi bahan refleksi dan susun langkah perubahan.
Begini ceritanya .....
"Inggih Pak, mboten napa-napa," jawab Ibu Mei. Iya tidak apa-apa, Pak. Itu jawabnya saat saya minta maaf atas nama Kemdikbud.
Saya tanya kenapa dia sampai pergi ke Jakarta. "Saya ini sudah 59 tahun, Pak. Tahun depan pensiun. Kalau tahun ini ada masalah, saya takut tidak bisa terima uang pensiun," Ibu Mei menjelaskan alasan kenapa ke Jakarta.
Itu cuma satu dari dua ratusan orang yang datang di hari Jumat kemarin. Ibu guru itu bernama Ibu Mei, seorang guru TK dari Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Dia berangkat ke Jakarta ditemani putrinya yang tinggal di Semarang dan seorang staf Dinas Pendidikan Kab. Magelang.
Sesudah Jumatan, saya berjalan melewati ULT. Tanpa sengaja, berpapasan lagi dengan mereka bertiga di selasar depan ULT.
Saya tanya apakah sudah beres, lalu putrinya menjawab, "Tadi kami diminta oleh petugas ULT untuk mengurus ke lantai 13 di Gedung D. Kami sudah ke sana lalu menunggu tapi petugasnya tidak ada."
"Sekarang mau ke mana?" tanya saya. Putrinya kemudian menjawab, "Kami mau ke bandara, terlanjur beli tiket PP sore ini." Semua diam. Saya kaget, ya amat terkejut.
Bapak dan Ibu semua, seorang ibu guru TK yang sudah amat senior dari pinggiran Kab Magelang telah habiskan uang untuk beli tiket pesawat Semarang-Jakarta PP dan terpaksa pulang dengan tangan hampa. Alasannya sederhana: petugas tidak di tempat.
Cukup sudah tempat ini jadi pangkal kekecewaan!!
Saya ajak mereka ke ruangan saya dan panggil petugas GTK untuk membereskan hingga tuntas.
Bapak dan Ibu, ini tidak seharusnya terjadi dan tidak boleh berulang. Saya tegaskan sekali lagi: TIDAK BOLEH BERULANG.
Saya akan ceritakan lagi pengalaman nyata, pengalaman kami yang pernah saya ceritakan pada Ibu dan Bapak sekalian saat kita bicara soal pelayanan pada guru beberapa bulan yang lalu.
Saat itu saya masih duduk di bangku SMA. Saya mengantar almarhum ayah ke Stasiun Tugu di Jogjakarta. Beliau berangkat naik KA Senja Utama ke Jakarta, akan mengurus soal kepangkatannya di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kami sekeluarga melepas dengan penuh harap bahwa kepangkatannya bisa beres. Beberapa hari kemudian, menjelang subuh saya menjemput di Stasiun Tugu lagi. Saat itu diceritakan bahwa urusannya tidak selesai karena pejabat yang berwenang sedang tidak di tempat dan yang lain tidak bisa memutuskan. Ya, sama persis. Pulang kampung dengan tangan hampa. Sebabnya sama: pejabat tidak ada di tempat.
Sekembalinya dari Jakarta, pagi itu juga ayah langsung mengajar lagi. Ruang kelasnya tidak boleh kosong terlalu lama.
Beberapa waktu kemudian, kami sekeluarga mengantar lagi ke Stasiun Tugu. Ayah berangkat lagi ke Jakarta untuk menuntaskan urusan kepegawaiannya, yang pada waktu itu beliau sudah lebih dari 25 tahun mengajar. Bawa kopor dan tas dokumen berisi semua berkas-berkas penunjang.
Di perjalanan pulang dari stasiun, Ibu bergumam sambil matanya berkaca-kaca, "Kasihan abah jadi korban perubahan aturan". Kami panggil ayah dengan sebutan sunda, abah. Saya tidak ingat detail aturannya, tapi kami semua diam sambil berharap kali ini beres.
Datang harinya beliau kembali ke Jogja. Saya jemput lagi di Stasiun Tugu subuh-subuh. Beliau membawa kabar, tidak bisa. Ikhtiar pengurusan pangkat itu hasilnya nihil.
Saya ingat, kami duduk mengitari meja makan mendengarkan cerita beliau saat mengurus di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bawa map berisi dokumen, mengantre di ruang tunggu, hingga akhirnya ditemui sang pejabat. Detail cerita beliau.
Kami semua jadi geram dan kesal mendengarnya. Di akhir obrolan pagi itu, beliau mengatakan kira-kira begini, biarlah negara tidak mengakui masa kerja ini tapi yang penting ada di catatan Allah.
Hingga akhirnya hayatnya, pangkat ayah tidak pernah bisa dituntaskan. Ayah mengajar lebih dari 40 tahun. Ribuan pernah jadi muridnya. Kebahagiaannya didapat bukan dari selembar kertas pengakuan negara, tapi dari lembaran surat, kartu lebaran, atau silaturahmi bekas murid-muridnya.
Setiap melihat guru datang ke Kemdikbud mengurus kepangkatan, sertifikasi, NUPTK dll, saya membayangkan mereka kelak pulang ke rumah disongsong oleh istri, suami dan anak-anak yang berharap dengar kabar baik, seperti keluarga kami dulu. Semua anggota keluarga menunggu kepulangan dengan penuh harap untuk sebuah urusan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Tugas mereka mengajar, mendidik, dan menginpsirasi. Tugas birokrasi pendidkkan adalah memudahkan mereka bekerja, bukan malah menyulitkan. Cukup sudah. Cukup kementerian ini jadi kontributor permasalahan administrasi tanpa akhir.
Bapak dan Ibu, Laporan dari BKLM tentang jumlah guru yang datang ke ULT Kemdikbud ini jangan pernah dipandang semata-mata sebagai data statistik untuk dianalisa.
Tiap angka itu adalah seorang manusia harapan keluarga. Mereka adalah pilar keluarga. Anak, istri atau suami menunggu penuh harap di kampung halaman. Mereka adalah pejuang yang telah lelah, telah berkeringat di garis depan, di depan kelas untuk mendidik anak-anak kita.
Lunasi semua haknya. Permudah semua prosesnya. Manusiawikan kembali proses pengurusannya. Tuntaskan ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Di hari Sabtu siang, renungkan catatan ini. Bayangkan tiap kita berada di posisi para pencari kepastian, para Ibu dan Bapak guru yang datang ke ULT.
Awal minggu depan, saya akan siapkan surat instruksi resminya. Instruksinya: semua unit yang terkait dengan urusan data guru dan seputar pengurusan administrasi guru untuk menyiapkan rencana perombakan total. Penyederhanaan total. Segera siapkan untuk menjalankan instruksi.
Jika Bapak dan Ibu menemui kendala, ada yang menolak untuk berubah, ada yang tidak sanggup untuk menyederhanakan proses, maka tegur dengan keras dan tegas. Beri aba-aba untuk minggir dari barisan!
Sumber : http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160617092059-20-138845/kisah-murka-anies-baswedan-dan-memo-yang-bocor/
0 Response to "Kisah Murka Anies Baswedan dan Memo yang Bocor"
Posting Komentar